tempe adalah makanan khas Indonesia banget. Dimanapun orang Indonesia berada, daging nabati ini selalu ingin dinikmati. Biasanya, tempe yang beredar di Jerman, misalnya adalah buatan Belanda. Mengapa bukan tempe buatan asli Indonesia (sumbernya) yang tersebar luas di seluruh jagad? Jawabannya ada pada orang Indonesia sendiri. Dan peluang bisnis itupun disambut Belanda! Tempe made in Holland is everywhere around the globe!
***
Konon dua ribuan tahun yang lalu, tempe dan tahu dibawa oleh pedagang China ke Indonesia. Selama tinggal di Jawa, masyarakatnya mengkonsumsi tempe setidaknya sekali sehari lantaran kandungan proteinnya nabatinya yang cukup tapi masuk program diet, vitamin B12 dan fiber-nya. Ini makanan sehat.
Di dekat kampung halaman saya di Semarang, ada sebuah pabrik tempe dan tahu. Home industryini memproduksi tempe segar tiap harinya dan dijual di pasar-pasar. Biasanya ada yang dibungkus daun, yang plastik juga tersedia. Bentuknya ada yang bujur sangkar ada yang seperti pipa. Saya lebih menyukai dengan pembungkus alami karena rasa khas daun pisang yang menggulungnya.
Kebanyakan orang mengolahnya menjadi tempe goreng, mendoan (tempe goreng dengan tepung), oseng-oseng tempe, tempe bacem, oblok-oblok, tempe penyet, sambal tempe, perkedel tempe dan masih banyak menu variasi lain sesuai selera pribadi.
Makanan tersebut tak hanya makanan rumahan, saya lihat telah disajikan dalam catering prasmanan pernikahan atau acara besar lainnya, restoran dan hotel terkemuka tanah air.
So, siapa bilang tempe itu makanan wong ndeso (red: orang kampung)? Dahulu memang hanya bisa didapat di pasar tradisional, kini bisa didapatkan dengan mudah di supermarket, toko modern bahkan merambah ke greengoceries luar negeri (sampai service on line shopping-nya)!
***
Pertama kali datang ke Jerman, kami telah berhasil mendapatkan tempe di bulan pertama dari Konstanz. Kota pelajar yang berbatasan dengan Swiss ini memiliki sebuah toko milik orang Indonesia yang diantaranya menyediakan tempe berselubung plastik transparan. Selain itu tahu, kelapa, leci, pisang ambon, rambutan, durian, beragam bumbu, macam-macam mie kering/instan Indonesia dan sebagainya bisa didapatkan di toko BATAVIA ini. Ada imbiss (red: warung makan masakan Asia termasuk Indonesia) di dekat kasir toko. Harganya juga aman di kantong, tak mahal-mahal amat. Rasanya juga lezat, kata suami saya.
Produk bio yang sehat dan terbeli tadi kemudian saya timang dan masuk kulkas. Tertulis diproduksi oleh sebuah perusahaan tempe di Belanda. Wah, mengapa Belanda????
Sebuah perusahaan tempe di Belanda, Soya Bean Company bertempat di Kerkrade, Belanda. Pendirinya, Robbert van Dapperen. Setahun kemudian, tahun 1979, pembuatan tempenya di sebuah gudang di Rotterdam. Dari tahun ke tahun perusahaan ini maju, dengan sasaran orang Belanda, toko-toko Indonesia di Belanda, orang Indonesia yang tinggal di Belanda dan diekspor ke seluruh dunia pula.
Karena memerlukan tempat yang luas untuk produksi massal, terpilih kota Kerkrade. Bahkan berhasil menggaet saudara lelaki Robert, Ed untuk menjadi partner bisnis.
Mereka ini tak hanya memproduksi tempe dan menjualnya world wide (Inggris, Jerman, Belgia dan Luxemburg), penyebaran leaflet tentang tempe, menggelar demo cara membuat dan memasak tempe hingga menembus Central Market.
Lalu ambisi mereka kedepan adalah membuat perusahaan mereka di Malaysia bisa merangkul warga negeri Jiran ini untuk gemar mengkonsumsi tempe tak ubahnya seperti orang Indonesia!
Bisa jadi supply ini karena adanya demand di Malaysia bertambah (seiring banyaknya warga Indonesia dan TKI di sana?).
Jangan was-was kalau suatu saat tempe menjadi makanan favorit di Malaysia dan layak dikukuhkan menjadi masakan trully Malaysia.
***
Angan-angan saya mengembara, betapa gembira jika saat membeli makanan vegetaris ini, di Jerman misalnya, yang tertulis dibungkusnya, „Tempe made in Indonesia.”
Tahun kedua merantau di Jerman, saya segera belajar pada seorang teman yang barusan pindahan dari Indonesia ke negeri sosis ini. Henny memberi instruksi kepada saya cara pembuatannya lewat telepon.
Setelah mudik dan membeli raginya, saya buat sendiri di dapur rumah. Hasilnya? Prima! Ternyatamembuat tempe itu mudah asal ada bahannya dan telaten:
1. Rendam kedelai semalam.
2. Setelah membesar, remas kuat - kuat hingga kulit ari mengelupas semua.
3. Rebus kedelai sekitar 15 menit atau sampai matang.
4. Tiriskan hingga tak ada air menggenang.
5. Rebus tanpa air dengan api kecil, untuk menghindari gosong.
6. Dinginkan ditempat yang lebar.
7. Jika kering, taburi dengan ragi secukupnya secara merata.
8. Bungkus, tutup plastik dengan mesin penjepit plastik atau gunakan lilin.
9. Tusuk permukaan plastik dengan lidi atau tusuk gigi lalu bungkus dengan serbet bersih.
10.Letakkan di permukaan berjeruji untuk memberi jalan pernafasan bagi tempe.
11.Simpan di ruangan yang hangat (di Indonesia suhunya bisa mencapai 30 derajat mungkin lebih cepat, di Jerman di atas 20 derajat suhu ruangan sudah bagus, hingga tempe jadi dalam 2 - 5 hari)
12.Jika jamur putih sudah menutupi semua kedelai, tempe siap dikonsumsi. Jangan terlalu lama, bisa busuk. Segera simpan di kulkas atau freezer.
Stok tempe penuh.
Suami saya tersenyum, membahas keinginan saya sering makan tempe bersama keluarga selain sosis, keju dan roti. Saya waktu itu memang sedang terobsesi membuat tempe sendiri. Kadang memang malas 1 jam mengendara ke Konstanz atau 3 hari menunggu delivery dari online shopping(dari kota lain di Jerman atau Belanda). Apalagi rasa tempe buatan sendiri layak konsumsi dan ada rasa bangga saat melahapnya.
Saya? Malu bahwa baru mau dan bisa membuat tempe justru ketika berada di luar negeri.Seumur-umur tidak pernah terbersit keinginan untuk mencoba membuat makanan kebanggaan Indonesia yang sudah menjadi duta bangsa bertahun-tahun lamanya. Namun memang tak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik.
Usai tempe jadi, segera saya telpon ibunda di Indonesia, beliau sangat terharu. Ingin makan tempe di luar negeri saja repot. Dilain sisi beliau gembira karena saya dan anak-anak belajar membuat tempe.
Dahulu di Indonesia, tinggal beli di warung, memanggil tukang sayur yang lewat atau membeli matangnya dari warung/resto terdekat. Di Jerman? Ngimpi! Untung saya bisa membuatnya sendiri, meskipun jika sedang tidak ada waktu, ya terpaksa memang membeli langsung meski jauh atau pesan dengan kurun waktu penerimaan barang, beberapa hari kemudian
No comments:
Post a Comment
Isi Komentar anda di sini