Karmanah

Bertahun menanti langkah sang lelaki di getar tanah

Atau tutuplah jendela, dan selimutilah anak tercinta

Angin sudah menghimpun dingin pada dedaun menjelang malam. Lampu redup, dan suara detik jam meningkahi bayang laron pada bilik-bilik rumah yang bertahun-tahun tak lagi menyelipkan aroma desah cinta. Seperti tak ada waktu lagi menjelaskan tentang seorang pangeran pelindung dalam dongeng-dongeng bagi anak sebelum tidur. Atau tentang ketukan tangan lelaki menjelang maghrib, tentang segelas air putih dan perbincangan serius tentang keseharian anak tercinta. Tak tersisa dalam bahasa, menguap hilang di angkasa. Diam, kelam.

Aku hanya melihat sisa usia yang menua, sisa rasa yang bersahutan dengan angka-angka di kalender, atau harap cemas dan lamunan yang buyar digilas rutinitas menjadi seorang buruh yang patuh. Satu-satunya anak seolah suami yang berbaring di sampingnya setiap malam. Karena sang lelaki telah pergi. Tapi, ia terus menanti, hanya sebilah sepi yang semakin meruncing. Tak ada kata perpisahan. Tak ada kabar.

“Bapak ke mana, di mana. Kenapa belum pulang?”

Tak ada jawaban dari sang ibu. Karmanah hanya menahan air mata, seperti langit yang menahan air hujan. Barangkali tak perlu menikah dengan lelaki lain, karena ia punya suami. Tapi di manakah ia? Kenapa seseorang begitu mudah mencampakkan yang lainnya? Adakah seseorang ingat dan merasa bersalah telah meninggalkan kekasihnya begitu lama? Tak ada kabar, tak ada sedikitpun keputusan terdengar. Karmanah tak tahu tentang keadilan, ia hanya tahu bahwa bertahun-tahun ia tersiksa begitu hebat dalam pusaran penderitaan.

Karmanah kesepian, dan orang-orang memperbincangkannya. Karmanah penuh kesedihan, dan orang-orang tak peduli. Bertahun-tahun ia hidup dengan seorang anak, penuh kegelisahan dan harapan yang sakit hati.

“Berapa usia Ibu?”

“Saya berusia 40 tahun.”

“Kemana suami Ibu?”

“Entahlah, 4 tahun yang lalu pergi. Katanya mau cari kerja. Tapi sampai saat ini belum ada kabarnya. Saya juga tidak diberi nafkah”

“Sudah bertanya pada keluarga suami?”

“Sudah, tapi mereka terus menghindar. Saya bingung, diceraikan tidak, berkeluarga pun tidak.”

Suara malam menabuh dedaun dan tirai jendela. Karmanah mengusap air mata, dan berdiri pelan. Terdengar suara air memenuhi gelas. Terdengar suara anak kecil batuk di balik bilik kamar.

“Hm, bagaimana ini, Mas?”

“Besok kita coba upaya pengantisipasian keluarga. Kita terus menempuh cara kekeluargaan dengan dengan pihak suami.”

“Ya, kita mesti terus datang bersilaturahmi dengan Karmanah. Kita jangan bosan memberikan motivasi padanya, terus berusaha menguatkan psikologis Karmanah.”

Malam padam. Di sepanjang jalan, aku melihat langit masih menyembunyikan bintang-bintang. Lihatlah, seekor kelelawar melesat menusuk kabut.

No comments:

Post a Comment

Isi Komentar anda di sini