TBC menular melalui media apa saja? Dan rata-rata berapa lama gejala timbul setelah orang terpapar kuman TBC?

Pada umumnya adalah melalui percikan dahak penderita yang keluar saat batuk (beberapa ahli mengatakan bahwa air ludah juga bisa menjadi media perantara), bisa juga melalui debu, alat makan/minum yang mengandung kuman TBC. Kuman yang masuk dalam tubuh akan berkembangbiak, lamanya dari terkumpulnya kuman sampai timbulnya gejala penyakit dapat berbulan-bulan sampai tahunan.

.Mengapa pengobatan TBC memerlukan waktu yang lama?

Karena bakteri TBC dapat hidup berbulan-bulan walaupun sudah terkena antibiotika (bakteri TBC memiliki daya tahan yang kuat), sehingga pengobatan TBC memerlukan waktu antara 6 sampai 9 bulan. Walaupun gejala penyakit TBC sudah hilang, pengobatan tetap harus dilakukan sampai tuntas, karena bakteri TBC sebenarnya masih berada dalam keadaan aktif dan siap membentuk resistensi terhadap obat. Kombinasi beberapa obat TBC diperlukan karena untuk menghadapi kuman TBC yang berada dalam berbagai stadium dan fase pertumbuhan yang cepat.

Bagaimana bila penderita TBC tidak mengkonsumsi obat secara teratur?

Hal ini akan menyebabkan tidak tuntasnya penyembuhan, sehingga dikhawatirkan akan timbul resistensi bakteri TBC terhadap antibiotika sehingga pengobatan akan semakin sulit dan mahal.

Bisakah penyakit TBC disembuhkan secara tuntas? Bagaimana caranya?

Penyakit TBC bisa disembuhkan secara tuntas apabila penderita mengikuti anjuran tenaga kesehatan untuk minum obat secara teratur dan rutin sesuai dengan dosis yang dianjurkan, serta mengkonsumsi makanan yang bergizi cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya?

Apakah orang yang telah sembuh dari penyakit TBC dapat terjangkit kembali?

Dapat, karena setelah sembuh dari penyakit TBC tidak ada kekebalan seumur hidup. Jadi bila telah sembuh dari penyakit TBC kemudian tertular kembali oleh kuman TBC, maka orang tersebut dapat terjangkit kembali.

Bagaimana sikap kita bila di rumah terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit TBC?

Bawa pasien ke dokter untuk mendapatkan pengobatan secara teratur, awasi minum obat secara ketat dan beri makanan bergizi. Sirkulasi udara dan sinar matahari di rumah harus baik. Hindarkan kontak dengan percikan batuk penderita, jangan menggunakan alat-alat makan/minum/mandi bersamaan.

Penanganan TBC

Pada tahun 1993, Bank Dunia melaporkan bahwa TB merupakan pembunuh utama dibandingkan penyakit infeksi lainnya, seperti malaria, diare, ISPA, dll. Bahkan TB merupakan penyebab kematian utama pada wanita, lebih tinggi dibandingkan penyebab kematian maternal.
Sejak ditemukannya Obat Anti TB (OAT) lebih dari 40 tahun yang lalu, strategi penatalaksanaan TB telah berubah dengan bermakna dimana-mana. Perubahan kedua adalah setelah ditemukannya rifampisin pada sekitar tahun 1970-an, dan juga ditemukannya kembali pirazinamid sebagai salah satu OAT utama. Obat-obat tersebut merupakan komponen paduan obat jangka pendek yang ternyata lebih ampuh dalam penanggulangan TB. Meskipun demikian sampai dengan saat ini TB masih tetap sebagai masalah kesehatan masyarakat hampir dimana-mana. Di negara maju, hal ini karena timbulnya penyakit baru yaitu HIV/AIDS dan di negara berkembang, karena memang sejak semula terdapat kesulitan tentang kesinambungan persediaan obat.
Beberapa panduan OAT jangka pendek yang direkomendasikan WHO merupakan hasil uji coba di beberapa negara, yang terutama dilakukan oleh IUAT-LD di Afrika dan juga di Sulawesi. Panduan OAT jangka pendek ini jika dilakukan dengan baik dan betul akan memberikan hasil yang bagus, angka kesembuhan lebih dari 85%. Hal ini telah terbukti di beberapa negara termasuk Indonesia, khususnya Sulawesi.
Kunci utama keberhasilan adalah keyakinan bahwa penderita TB minum semua obatnya sesuai dengan anjuran yang telah ditetapkan. Artinya harus ada seseorang yang ikut mengawasi atau memantau penderita saat dia minum obatnya. Inilah dasar strategi DOTS.
Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course Chemotherapy), terbukti efektif sebagai strategi penanggulangan TB. Strategi DOTS ini telah diadopsi dan dimanfaatkan oleh banyak negara dengan hasil yang bagus, termasuk di negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu:
1. Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang
Dengan keterlibatan pimpinan wilayah, TB akan menjadi salah satu prioritas utama dalam program kesehatan, dan akan tersedia dana yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan strategi DOTS.
2. Mikroskop
Mikroskop merupakan komponen utama untuk mendiagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak lansung pada penderita tersangka TB.
3. Pengawas Minum Obat (PMO)
PMO ini yang akan ikut mengawasi penderita minum seluruh obatnya. Keberadaan PMO ini untuk memastikan bahwa penderita betul minum obatnya dan bisa diharapkan akan sembuh pada masa akhir pengobatannya. PMO haruslah orang yang dikenal dan dipercaya oleh penderita maupun oleh petugas kesehatan. Mereka bisa petugas kesehatan sendiri, keluarga, tokoh masyarakat maupun tokoh agama.
4. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan ini merupakan bagian dari sistem survailans penyakit TB. Dengan rekam medik yang dicatat dengan baik dan benar akan bisa dipantau kemajuan pengobatan penderita, pemeriksaan follow up, sehingga akhirnya penderita dinyatakan sembuh atau selesai pengobatannya.
5. Panduan OAT jangka pendek
Panduan OAT jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu pengobatan yang tepat sangat penting dalam keberhasilan pengobatan penderita. Kelangsungan persediaan panduan OAT jangka pendek harus selalu terjamin. (adi)

PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dan penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyadi masalah kesehatan yang cukup memprihatinkan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes RI), tercatat bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia; dan merupakan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi.
Masalah yang timbul pada penyakit ini disebabkan jumlahnya penderitanya yang banyak dan penyebaran penyakitnya yang mudah (melalui kuman yang dibatukkan oleh penderita ke udara – lihat topik terkait). Selain itu masalah yang terpenting adalah tingkat kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang rendah. Hal ini timbul karena umumnya penderita menghentikan pengobatannya ketika mereka sudah tidak merasakan gejala penyakitnya dan menganggap bahwa penyakitnya telah sembuh, padahal penyakit ini memerlukan pengobatan jangka panjang yang teratur. Jangka waktu pengobatannnya tergantung kepada kategori penyakit yang dideritanya (sesuai anjuran dokter yang memeriksa). Menurut Program Pemberantasan TB paru , tujuan pengobatan tuberkulosis dengan Obat anti TB (OAT) jangka pendek adalah memutuskan rantai penularan dengan menyembuhkan penderita tuberkulosis paling sedikit 85 % dari seluruh kasus tuberkulosis BTA positif yang ditemukan dan mencegah resistensi (kuman yang kebal terhadap OAT).
Obat anti TB (OAT) harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang bersifat bakterisid (membunuh kuman) dengan atau tanpa obat ketiga. Dasar pemberian obat ganda adalah karena selalu didapatkan kuman yang sejak semula resisten (kebal) terhadap salah satu obat pada kuman yang sensitif.
Tujuan pemberian OAT antara lain membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif (lihat topik mengenai pemeriksaan penunjang TB) secepat mungkin melalui efek bakterisid, mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi (kemampuan membunuh kuman khusus yang tumbuhnya lambat.), menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya tahan imunologis (kekebalan tubuh).
Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama yang digunakan adalah Rifampisin (R), INH (H), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S), dan Etambutol (E). Obat – obat tersebut bersifat bakterisid kecuali untuk etambutol yang bersifat bakteriostatik (menekan pertumbuhan kuman). Jenis obat tambahan lainnya :Kanamisin, Kuinolon, derivat rifampisin dan INH serta obat lain yang masih dalam penelitian yaitu makrolide dan kombinasi amoksisilin dengan asam klavulanat. Kombinasi pengobatan (multy drug theraphy) dan jangka waktu OAT yang diberikan tergantung jenis/kategori penderita (ditentukan oleh dokter yang memeriksa). Jangka waktu pengobatan minimal dilakukan selama 6 (enam bulan).
Pemberian OAT jangka panjang terkadang dapat memberikan efek samping dari obat yang diminum. OAT golongan pertama dan efek sampingnya, antara lain :
Isoniazid (INH) : efek sampingnya berupa neuritis perifer (radang saraf tepi) untuk pencegahan harus diberikan suplemen vitamin B6, gangguan fungsi hati, alergi obat;
Rifampisin : efek sampingnya berupa hepatitis drug induced (radang hati yang dipicu oleh obat). Masalah yang paling menonjol dan dapat menyebabakan kematian. Hepatitis jarang terjadi pada pasien dengan fungsi hati normal, tetapi penyakit-penyakit hati kronik, alkoholisme dan usia lanjut dapat meningkatkan angka kejadiannya. Flu-like Syndrome, Sindrom Redman (disebabkan dosis yang berlebihan, terdapat kerusakan hati yang berat, warna merah terang pada urin, air mata, ludah dan kulit);
Etambutol : efek sampingnya berupa Neuritis optic (peradangan pada saraf mata), merupakan efek samping terpenting, yang berupa penurunan tajam penglihatan dan buta warna merah/hijau. Gout/pirai (meningkatnya asam urat dalam darah). Lain-lain : gatal, nyeri sendi, nyeri epigastrik (ulu hati), nyeri perut, malaise (lemah-lesu), sakit kepala, linglung, bingung, halusinasi.
Pirazinamid : efek sampingnya berupa gangguan hati (efek samping tersering dan terserius), gout/pirai (meningkatnya kadar asam urat dalam darah), lain-lain : artralgia (sakit pada sendi), anoreksia tidak nafsu makan), mual-muntah, disuria (sulit berkemih), malaise, demam.
Streptomisin : efek sampingnya berupa alergi obat, gangguan keseimbangan (seperti sempoyongan), vertigo (sakit kepala berputar) dan tuli, dapat menurunkan fungsi ginjal., rasa baal di muka.
Pengobatan TB merupakan kunci pokok terhadap keberhasilan pemberantasan penyakit ini. Selain kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang dpaat dimonitor melalui pogram DOTS (baca topik terkait), hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya tanda-tanda efek samping OAT mengingat jangka waktu pemberiannya yang panjang.. Hal ini penting untuk diperhatikan karena jika ternyata didapatkan adanya tanda-tanda dari efek samping obat maka dokter akan mencari alternatif kombinasi lain yang sesuai sedini mungkin. Kunci penting keberhasilan pengobatan TB adalah kerjasama antara penderita, dokter dan orang di sekitarnya (pengawas minum obat-DOTS), karena tanpa kerja sama yang baik akan sangat sulit sekali mengobati penyakit ini bahkan akan timbul penyakit TB dengan kuman yang resisten (kebal) terhadap pengobatan yang ada dan akan sangat sulit sekali diobati. (mds)

Jangan dikira penyakit TB alias tuberkulose sudah musnah. Justru sejak awal tahun 1990-an penyakit yang menyerang paru-paru ini kembali mendapat perhatian dunia. Di Indonesia TB malah merupakan penyebab kematian pertama untuk kelompok penyakit menular. Penyakit ini pun sangat erat hubungannya dengan virus HIV.
Tuberkulose atau tuberculosis (dulu disingkat TBC) sebenarnya sudah diderita manusia sejak ribuan tahun lalu. Berdasarkan penelitian pada mumi peninggalan zaman Mesir kuno, saat itu sudah banyak orang meninggal gara-gara penyakit ini.
Belakangan, ketika penderita HIV/AIDS semakin bertambah jumlahnya, penyakit TB pun tampil kembali setelah lama tak terdengar ulahnya. Kedua penyakit itu rupanya sangat erat hubungannya. Menurunnya daya tahan tubuh yang drastis mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi seperti TB. Tentu saja terjangkitnya TB pada penderita HIV akan semakin memperburuk ketahanan tubuhnya serta mempercepat replikasi virus dalam tubuhnya. Berarti infeksi HIV akan mempercepat perjalanan penyakit TB.
Sebaliknya, TB dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV akan semakin mempercepat perjalanan penyakit menjadi AIDS. Dalam kasus ini TB menjadi amat sulit dibasmi dan acap kali berakibat fatal. Sekitar sepertiga kematian pada penderita AIDS disebabkan oleh TB, dan sekitar 40% kematian pada penderita AIDS di Afrika dan Asia disebabkan oleh TB. Menurut perkiraan WHO, akhir abad ini virus HIV akan menyebabkan sedikitnya 1,4 juta kasus TB aktif.
Dengan tanda awal demam, bobot badan menurun, cepat lelah, berkeringat dingin malam hari, gejala TB juga disertai batuk yang dahaknya acap kali bercampur darah.
Penyakit ini mulai menyebar ke segala penjuru dunia pada abad XVII – XVIII. Saat itu TB menyebabkan kematian hampir seperempat jumlah kaum dewasa di Eropa. Di AS bagian utara, dari tahun 1800 sampai awal 1900-an, TB merupakan penyebab kematian utama.
Walaupun mikrobakteri tuberkulose sudah ditemukan oleh dr. Robert Koch pada 24 Maret 1882 di Berlin, Jerman, penyakit ini baru bisa diberantas setelah ditemukan obatnya
pada 1940 – 1950-an. Obat pertama yang diproduksi antara lain streptomycin, isioniazid, dan para-aminosacylic acid. Kemudian muncul obat ethambutol, rifampicin, thiacetazone, dan pyrazinamide.
Sejak itu, TB sempat mereda dan tidak lagi terlalu dimasalahkan oleh kalangan kedokteran. Namun, awal tahun 1990-an TB kembali menjadi bahan pembicaraan dunia kedokteran karena ternyata masih membunuh sekitar 2 – 3 juta penduduk dunia, khususnya di negara ekonomi lemah dan menengah. Dari tujuh juta penderita TB, lebih dari setengahnya berada di negara berpendapatan menengah seperti Brasil, Indonesia, Iran, Meksiko, Filipina, Rusia, Afrika Selatan, dan Thailand. Belum lagi di negara berpendapatan rendah seperti Afghanistan, India, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Sudan, atau Uganda.
Menurut dr. Tjandra Yoga Aditama, ahli penyakit paru-paru dari RS Persahabatan, Jakarta, kini diperkirakan setiap tahun di dunia muncul empat juta penderita TB menular. Belum lagi sekitar empat juta penderita yang tidak menular atau pembawa kuman TB. Setiap tahun diperkirakan tiga juta orang meninggal karena penyakit ini, di antaranya satu juta kaum wanita dan sekitar 100.000 anak-anak.
Di Indonesia sendiri TB masih merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit jantung dan pembuluh darah. Bahkan, peringkat pertama penyebab kematian karena penyakit menular. Jumlah penderitanya sekitar 500.000 orang/tahun dan kematian sekitar 175.000 orang/tahun, khususnya di daerah pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan yang rawan kuman itu.
Di Singapura, negara termaju di Asia Tenggara itu, penambahan penderita TB hanya sekitar 2% atau sekitar 56 orang per 100.000 penduduk. Tapi jumlah ini masih 5 – 10% lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju lain. Sebagian besar kasus TB di Singapura terdeteksi pada para pendatang asing yang mengajukan izin kerja. Jumlahnya sekitar 12% dari 2.483 – 2.786 pendatang. Sedangkan di negara-negara maju, penderita TB sebagian besar para pengungsi atau gelandangan.
Harus diberantas tuntas
Bakteri TB, yang berbentuk batang dan bertahan hidup sampai berbulan-bulan di lingkungan kering, mudah disebarkan lewat batuk, bersin, dan ludah. Seseorang akan terinfeksi bila terjadi kontak dekat secara terus-menerus dengan penderita. Sebab itu, bila dalam sebuah keluarga ada seseorang yang terjangkiti TB hendaknya segera disarankan untuk berobat. Bila dirawat di rumah hendaknya di kamar tersendiri dengan segala peralatan atau perlengkapan tersendiri pula. Lantai ruangan harus setiap hari dibersihkan dengan disinfektan yang cukup kuat. Sambil diobati, gizi makanan penderita harus baik dan istirahat cukup.
Anak-anak hendaknya dijauhkan dari penderita mengingat mereka rentan terhadap penyakit sehingga lebih mudah tertular, terutama kalau sanitasi dan higiene lingkungan serta gizi makanan anak kurang memenuhi syarat.
Kuman TB bisa juga menyerang hewan seperti babi, unggas, dan sapi. Sebab itu TB juga bisa ditularkan melalui susu sapi yang terkontaminasi kuman (M. Bovis) kalau tidak dipasturisasi secara saksama.
Namun selama daya tahan tubuh kuat dan bakteri yang masuk tidak terlalu banyak, beberapa bakteri dengan sendirinya akan mati oleh serangan sel darah putih.
Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita TB antara lain pleurel effusion (pengumpulan cairan di antara paru-paru dan dinding rongga dada) atau pneumothorax (terdapat udara di antara paru-paru dan dinding rongga dada). Keadaan akan fatal kalau kerusakan paru-paru sudah luas. TB ada kalanya dapat menjalar ke organ tubuh lain melalui aliran darah. Terkadang pula infeksi primer TB tidak terjadi pada paru-paru (10%), tapi pada sendi atau tulang, ginjal, usus, rahim serta getah bening (leher).
Jutaan manusia sebenarnya hidup dengan kuman TB tanpa harus menjadi sakit. Namun suatu saat bila daya tahan tubuh menurun, kuman tubercle dapat bangkit memperbanyak diri kembali, kemudian menyerang masuk ke bagian lain dari paru-paru. Pada taraf ini mungkin penderita masih merasa sehat sampai gejalanya muncul, misalnya saat fungsi pernapasan terganggu, batuk, dll.
Pengetesan terhadap kuman TB yang sederhana adalah melalui ludah. Sedangkan untuk pencegahan biasanya digunakan vaksin BCG. Vaksin ini berupa kuman TB yang sudah dilemahkan. Sebelum mendapatkan suntikan ini, seseorang harus mendapatkan tes Manteaux terlebih dulu untuk mengetahui apakah ia memang masih terbebas dari kuman itu. Melalui foto X-Ray-thorax dapat diketahui pula keadaan paru-paru penderita (paru-paru penderita TB tampak berawan). Ada kalanya, pada stadium lanjut paru-paru sampai berlubang-lubang. Pada paru-paru yang pernah terjangkit penyakit TB pun pasti akan tetap terlihat bebas-bekasnya. Khusus untuk orang yang terinfeksi virus HIV, pencegahan TB dilakukan dengan langsung memberikan obat INH.
Jangan sampai kebal
Dalam usaha menumpas penyakit TB ini WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebenarnya telah memperkenalkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi ini terdiri atas lima komponen utama yakni adanya komitmen politik, tersedianya pelayanan pemeriksaan mikroskopik, terjaminnya penyediaan obat yang merata dan tepat waktu, adanya sistem monitoring yang baik, dan adanya program pengawasan keteraturan minum obat disertai jaminan agar setiap pasien pasti minum obat sampai tuntas. Penanganan TB secara langsung, terawasi, cepat, dan tuntas ini sebenarnya ampuh dan efektif untuk menumpas TB.
Namun, di beberapa negara, termasuk Indonesia, upaya pemberantasan TB masih berlangsung lamban. Hambatannya antara lain letak geografis wilayah Indonesia yang terpencar-pencar, kurang penerangan, kurang teraturnya pengobatan, dll. Bahkan, di negara-negara berpenghasilan rendah, proyek ini masih tertunda. Padahal pengobatan penyakit TB tidak boleh setengah-setengah, harus rutin, berturut-turut sampai tuntas dan memakan waktu paling sedikit enam bulan.
Kalau pengobatan tidak tuntas, menurut dr. Tjandra, malah menyebabkan kuman kebal obat dan tentu akan muncul lebih ganas. "Setelah makan obat dua atau tiga bulan, tidak jarang keluhan pasien memang hilang. Tapi ini belum berarti sudah sembuh total," katanya. Padahal, kalau saran DOTS dari WHO itu dijalankan dengan baik, pada tahun 2001 nanti sedikitnya 70% kasus TB di dunia dapat terdiagnosis dan terobati. Diharapkan angka kesembuhan nanti mencapai 85 – 95%. Artinya, dapat dicegah seperempat kasus baru dan kematian akibat TB.
Dalam pemberantasan TB, Singapura pernah menerapkan STEP(Singapore Tuberculosis Elimination Program)atau Program Pemberantasan TB. Caranya, Kementerian Kesehatan setempat mengadakan kampanye pendidikan masyarakat agar waspada terhadap bahaya penyakit menular ini. Juga kepada para dokter diberikan bimbingan dalam mendiagnosis serta mengobati pasien TB. Dokter diharapkan segera memberitahukan dan menyarankan untuk pengobatan kepada pasien yang terdeteksi mengidap penyakit ini. Bagi pasien yang resisten atau kurang (tidak) bereaksi terhadap obat yang diberikan, langsung ditangani di bawah kontrol program DOTS agar ditanggulangi sampai tuntas.
Kadang-kadang, menurut dr. Tjandra, kuman TB kebal atau resisten terhadap obat TB. Di India misalnya, pernah dilaporkan, adanya kombinasi obat rifampisin, INH, serta obat lain lagi yang tidak tercampur baik sehingga malah menyebabkan keadaan resisten yang disebut Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Penyebab lain MDR adalah penderita tidak minum obat secara teratur sampai tuntas. Kasus MDR biasanya ditangani dengan obat sekunder yang mahal harganya walaupun kadang masih kurang ampuh. Dalam hal ini diperlukan penanganan sangat khusus dan membutuhkan waktu pengobatan rutin yang jauh lebih lama (bisa dua tahun atau lebih).
Menurut sebuah laporan di AS, MDR-TB, khususnya pada mereka yang telah terinfeksi virus HIV, menyebabkan angka kematian lebih tinggi (7 – 80%) dalam waktu hanya 4 – 16 minggu. Sangat menyedihkan bahwa sekarang diperkirakan sekitar 50.000 kasus TB di 35 negara (lima benua), atau 20% penduduk dunia, telah tertular atau terinfeksi MDR TB ini, khususnya di Rusia, Latvia, Estonia, India, Argentina, Cina, Pantai Gading, serta Republik Dominika.
Sebenarnya, tidak sulit membasmi penyakit TB asalkan penderita mengikuti semua nasihat yang diberikan dokter. Untuk menyebarluaskan pencegahan serta pengobatan TB tentu masih diperlukan tenaga non-medis yang dapat ikut membantu menyebarkan informasi sampai ke pelosok yang sulit terjangkau. (Nanny Selamihardja).
KONSULTASI
Ancaman Bangkitnya Kuman Tuberkulosis
Resistensi Kuman Penyebab TB Meningkat Tajam
Diasuh oleh Tim Dokter RS Mediros

Ada tiga penanya tentang penyakit Tuberkulosis yaitu tentang Kekambuhan dan Pengobatannya dari Sutarno – Jakarta Utara, Ny. Abdullah – Tangerang, Ny. Budiono – Cirebon. Berikut ini diberikan jawaban yang lebih luas, karena penting untuk diketahui masyarakat. Pengasuh Rubrik

Apakah Anda percaya, di seluruh dunia ada sekitar dua miliar orang terinfeksi TB? Ini adalah sepertiga jumlah penduduk dunia! Dan tahukah Anda Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan Cina? Di Indonesia setiap dua menit ada satu penderita TB baru, ada satu orang meninggal setiap empat menitnya? Angka yang terdeteksi penderita TB di Indonesia adalah 587 ribu orang menurut data WHO tahun 2003 lalu! Tidak disangka memang. Di dunia modern dengan kemajuan teknologi sedemikian hebatnya, di era biologi molekuler di mana gen manusia sudah berhasil terpetakan. Era di mana penyakit baru dapat disembuhkan.
Tuberkulosis, penyakit yang umurnya sama dengan manusia, penyakit yang rahasianya sudah terkuak, baik dari segi patologi, etiologi, cara penularan, maupun diagnosis klinisnya, bahkan pengobatan pencegahan dan penyembuhan bagi orang dewasa dan anak-anak sudah diketahui. Namun penyakit ini masih serius. Ini memang membingungkan kita, termasuk para ahli. Penyakit infeksi ini sudah diklaim musnah beberapa tahun lalu. Lalu pada 1993 WHO malah menyatakan TB sebuah kedaruratan dunia (a global emergency).
Untuk menjawab keheranan di atas tentu saja tidaklah sederhana. Paling tidak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan di bidang-bidang tertentu yang merupakan mata rantai permasalahan: epidemiology, diagnosis, pengobatan, resistansi obat. Belum lagi dengan permasalahan teknis dan nonteknis menyangkut individu, institusi dan strategi serta kebijakan.
Sejarah Pengobatan TB
Konon kuman Mycobacterium tuberculosis, penyebab utama TB ini sudah ada sejak planet ini ada. Beberapa bukti kuman ini menginfeksi manusia ditemukan beberapa abad sebelum Masehi, misalnya di Jerman, dan Mesir. Bahkan di Mesir, TB merupakan penyakit yang biasa.
Sebelum abad ke-19, para ahli belum tahu apa dan bagaimana penyebab penyakit yang diistilahkan oleh Hipocrates sebagai Phthisis. Penyakit yang menyebar luas yang menyebabkan kematian. Akhirnya Robert Koch berhasil "melihat" kuman penyebab TB ini pada tahun 1882. Sebuah penemuan ilmiah yang sangat brilian.
Sejak itu dimulailah pertempuran melawan kuman penyebab utama kematian selama ribuan tahun itu. Baru di pertengahan Perang Dunia Kedua terjadilah terobosan Chemotherapy (kemoterapi). Pada awalnya kemoterapi penyakit infeksi menggunakan sulfonamid dan penisilin, tetapi ini tidak begitu efektif. Kemudian pencarian obat antikuman ini dilakukan oleh Selman A Waksman, tahun 1940 menemukan anti-TB, antibiotik actinomycine. Sayang sekali obat ini beracun bagi manusia.
Sukses barulah diraihnya 1943 setelah ditemukannya
Streptomycin, sebuah antibiotik yang dihasikan oleh Streptomyces griseus, yang terbukti dapat menghambat pertumbuhan kuman TB ini. Sukses terlihat sangat impresif ketika kuman pada dahak pasien TB yang parah hilang.
Sukses yang cepat didapat dengan penemuan-penemuan obat anti-TB lain. Penemuan-penemuan ini sangat penting, karena ternyata, terapi tunggal streptomycine menyebabkan kekebalan (resistansi) kuman dalam kurun waktu bulanan.
Setelah streptomycine, kemudian ditemukan p-aminosalicylic acid (1949), isoniazid (1952), pyrazinamide (1955), cycloserine (1955), ethambutol (1962) dan rifampicin (1963).
Adalah Dr. John Crofton seorang Inggris yang mengusulkan mengkombinasi obat-obat TB pada tahun 60-an, hasilnya memang sangat menggembirakan karena ternyata TB dapat disembuhkan.
Antara 1950 sampai 1985, terjadi penurunan tingkat kejadian TB serta kematiannya. Misalnya saja di Amerika Serikat, 1953 kejadian TB 84 ribu orang, tetapi pada tahun 1985 menjadi sekitar 20 ribuan. Insidiensi kematian karena TB tahun 1953 sekitar 20 ribu tetapi di tahun 1985 hanya berkisar 1.800 orang.

Kembalinya TB
Akan tetapi, masih di Amerika Serikat, setelah tahun 1985-an, penurunan angka kejadian TB berhenti. Bahkan kebalikannya cenderung meningkat sekitar 9% per tahunnya. Sementara di negara industri lain trennya sama. Hal ini paling tidak ada kaitannya dengan tingkat imigran atau pengungsi dari negara berkembang.
Jumlah kasus TB yang dilaporkan di seluruh dunia sangat berhubungan dengan kondisi ekonomi suatu negara dengan jumlah GNP rendah. Kejadian yang tertinggi berasal dari negara-negara Afrika, Asia dan Amerika Latin. WHO memperkirakan sekitar 8 juta jiwa terinfeksi TB setiap tahun, di mana 95%nya berasal dari negara berkembang. Hal lain yang menjadi meningkatnya kasus TB adalah berhubungan dengan Infeksi HIV. Satu dari 10 penderita HIV akan menjadi TB yang aktif. Faktor terakhir kebangkitan TB adalah munculnya Resitensi Ganda TB (multi drug resistant, MDR).
Pengobatan TB mempunyai dua tujuan utama. Efektivitas penyembuhan maksimal dan kemampuannya mencegah resitansi. Resitensi ganda TB terutama terjadi karena, pertama terapi terputus/pengobatan tidak lengkap (erratic drug intake), kedua pengobatan hanya dengan satu jenis obat anti-TB saja. Pengobatan TB seharusnya menggunakan kombinasi obat-obat anti-TB sehingga dapat membunuh kuman TB dengan tuntas. WHO merekomendasi kombinasi obat-obat tersebut: Isonizid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamide (Z) Ehambutol (E) dan Streptomycine (S), dengan dosis dan durasi pengobatan yang telah ditetapkan.
Kenyataan di lapangan misalnya pasien tidak menebus dan meminum semua obat yang sudah diresepkan sampai batas waktu yang ditetapkan. Ketidakpatuhan pasien, baik dalam meminum jumlah dan macam obat, dan tidak teratur serta tidak tuntasnya pengobatan dari yang dianjurkan merupakan pemicu terjadinya resistansi ganda TB.
Mungkin Anda dapat bayangkan sekaligus memahami. Ketidakpatuhan tersebut terjadi, karena seorang pasien TB harus meminum kombinasi obat-obat TB paling tidak 12 tablet/kapsul sehari pada fase intensif, yaitu kombinasi RHZE tiga kali sehari dengan lamanya pengobatan selama dua bulan, sedangkan empat bulan selanjutnya merupakan fase lanjutan dengan meminum paling tidak enam tablet/kapsul dalam sehari berupa kombinasi RH (atau EH selama 6 bulan).
Kebosanan dan ketidakpraktisan pengobatan TB untuk pasien yang memicu ketidakpatuhan merupakan salah satu kendala utama dari upaya memberantas TB ini.

Kombinasi Dosis Tetap
Sebagai bagian dari elemen kunci strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course), suatu strategi yang dijalankan badan kesehatan dunia untuk memerangi TB, WHO menganjurkan penggunaan kombinasi obat anti-TB dua sampai empat obat dalam satu kapsul.
Sekarang, sebagian besar negara sudah mulai mengganti penggunaan obat tunggal dengan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) ini sebagai bagian dari program DOTS nya masing-masing termasuk Indonesia.
Khusus untuk KDT empat obat regimen yang dianjurkan WHO adalah Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pyrazinamide 400 mg dan Ethambutol 275 mg. KDT ini digunakan dalam fase intensif, sedangkan untuk fase lanjutan dianjurkan menggunakan KDT dua obat regimen berisi Rifampisin 300 atau 150 mg, Isoniazid 150 atau 75 mg.
Latar belakang pemikiran rekomendasi penggunaan KDT empat obat ini adalah menyederhanakan pengobatan dan manajemen pengadaan obat serta untuk mencegah terjadinya resistansi.
Dengan menyederhanakan pengobatan membantu pasien untuk lebih patuh, karena pasien hanya menelan tiga sampai empat obat sehari selama fase intensif. Selain itu juga akan meminimalkan kesalahan penulisan resep oleh dokter, karena hanya menuliskan satu nama saja, dan tidak harus empat nama obat, dan dosis yang dianjurkan juga menjadi lebih mudah diingat.
Hal penting lain dari sediaan empat KDT adalah terjaminnya mutu dari sediaan ini terutama mengenai ketersediaan hayati/bioavailibilitas dari Rifampisin. Zat ini sangat tidak stabil dalam sediaan kombinasi, dan memerlukan teknis khusus dalam perlakuannya sehingga dapat menjamin bioavalibilitasnya dalam tubuh pasien untuk menjamin efek terapinya dan untuk menghindari resistansi kuman TB.
Menyadari akan hal itu, WHO telah membuat aturan khusus tentang pembuatan sediaan jenis ini dengan membuat sistem kendali mutu, dengan menetapkan laboratorium penilai di Medical Research Council, Pretoria Afrika Selatan dan Department of Pharmaceutics, National Institute of Pharmaceutical, Education and Research, Punjab, India.
Semua produsen yang akan memproduksi sediaan ini harus menyiapkan dokumen yang diperlukan, termasuk data bioavailibilitasnya. Uji bioavailibilitas dapat dilakukan di berbagai WHO Laboratory Network for Quality Control of FDC's.
Dewasa ini di Indonesia sudah ada preparat empat KDT, Rimstar, serta tiga KDT, Rimcure.

Dr. Fachrial Harahap, Sp P (K)
- Dokter Spesialis Paru RS Mediros,
- Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK-UI
RSUP Persahabatan Jakarta.