Pulau Galang..Island of Refugees

Malam di Batam adalah raung mesin dan derap sepatu ribuan buruh pabrik yang pulang dengan dentang lonceng dan nguing sirine. Entah bagaimana orang-orang bertahan hidup di kota industri ini, kota yang tidak mengenal jam malam. Karyawan pabrik pulang-pergi, bergantian jam kerja. Dentuman musik dari klub malam, gemerlapan kota yang tak ada matinya. Kota ini seperti tak pernah tidur, dan memang tak pernah tidur. Namun, saya yakin, dari cerita dan kisah-kisah lama orang-orangnya, betapa banyak keindahan yang disimpannya, begitu dalam rahasia yang ditanggungnya. Saya terlelap dalam kota industri ini, di blok-blok sempit ruang kontrakan para buruh.
Orang-orang Vietnam? Terdampar? Saya seperti mendengar sebuah bisikan dengan bahasa yang tidak saya ketahui. Saya seperti terlempar ke lembaran-lembaran novel yang ditulis seorang penulis terkenal di Vietnam. Saya ingin kembali ke kisah dalam lembar-lembar novel itu. Kisah seorang gadis kecil bernama Nguyen, yang terdampar di Pulau Galang bersama ribuan orang lainnya yang lari dari perang di Vietnam. Vietnam yang seperti neraka, dan ribuan orang memilih lari dari negara petani itu dengan perahu. Ribuan manusia perahu berlayar tanpa kompas, tanpa penunjuk arah yang jelas, tanpa haluan yang pasti. Nguyen, kau kah yang ada di perahu itu?
Sebuah papan petunjuk terbuat dari lempengan logam dengan cat dasar hijau bertuliskan EX CAMP VIETNAM, seperti rongga besar yang hendak menyedot saya ke masa lalu. Di sana-sini tertulis “Galang, Memory of a Tragedic Past”, saya tak bisa mengira-ngira bagaimana tragedi masa silam itu di Pulau Galang ini hingga sebegitu pentingnya untuk dituliskan. Galang, misteri apa yang kau kandung.

Saya berjalan melewati tubir, menelisik nama-nama di nisan di lokasi Nga Trang Grave itu. Betapa banyak nama Nguyen di sini. Barangkali ‘nguyen’ sama dengan ‘cut’ di bagi orang Aceh, atau ‘puti’ bagi orang Minangkabau, atau ‘raden’ bagi orang Jawa. 503 makam yang terdiri dari pengungsi Vietnam dan Kamboja yang beragama kristen dan budha. “Besarnya jumlah kematian saat itu diakibatkan karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah.” Begitu tertulis di plakat di perkuburan itu.
Di tahun 1979, Vietnam dilanda perang saudara yang tak terelakkan. Orang-orang dari Vietnam Selatan, yang kebanyakan tidak menganut paham komunis, memilih untuk meninggalkan Vietnam dan berlayar dengan perahu-perahu kecil, dihempas ombak dan gelombang, diterpa badai, juga panas yang membakar kulit. Orang-orang itu, manusia-manusia perahu itu, yang akhirnya terdampar di Pulau Galang. Salah seorang dari manusia perahu itu, Nguyen kecil dengan rambut dikepang. Nguyen, apa yang terjadi? Ia yang akhirnya diperkosa setelah kegagalan cintanya dengan seorang lelaki pribumi Pulau Galang. Cintanya kandas, cintanya tak terbalas. Dalam keputusasaan, ia menggantung diri dengan seutas tali. Membiarkan rohnya terlepas dari raganya.
      
“Tidak! Ia dibunuh,” kata seorang tua yang dari tadi memperhatikan saya kemudian berlalu. Teman-temannya, yang merasa sepenanggungan nasib dengannya di pengungsian, membuatkan tugu seadanya. Tugu mengenang seorang perempuan di barak pengungsian.
Sekarang saya berdiri di hadapanmu, berdoa. Nguyen yang dipahat di rimbun rimba raya. Tempat di mana kau menemui ajal, dalam cinta yang sekarat, dalam sakit yang tak terperikan. Beberapa sesajen terletak begitu saja di bawah tugu, sepertinya sudah lama. Saya merasa malu sendiri, karena tidak membawa apa-apa, selain kamera dan beberapa catatan-catatan kecil. Tapi setidaknya saya membawa doa. Nguyen yang di surga.


Dekat dari tugu itu, barak-barak pengungsian terhampar, tak terurus. Sebagian telah lapuk dimakan rayap dan belukar telah menjalari hingga tiang-tiang tertinggi. Barak-barak yang dulunya menampung 230.00 lebih pengungsi Vietnam, yang juga sebagian kecilnya dari Kamboja ini seperti sebuah kampung lama yang keluar dari halaman buku-buku sejarah. Betapa depresi mereka yang bertahun-tahun menghuni tempat itu, hidup dalam ketakpastian. Tidur bergerombol berdesak-desakan. Di antara barak-barak yang ditinggal pengungsi ini, saya bermenung membayangkan bahwa Nguyen adalah satu dari gadis yang tertidur lelap di dalamnya. Di tengah pemandangan pulau-pulau yang indah mempesona, ternyata ada derita manusia yang ditanggungnya.

Di tahun 1995, para pengungsi itu dipulangkan ke Vietnam oleh pemerintah Indonesia dan UNHCR, lembaga PBB untuk pengungsi. Sebagian menolak karena mengira bahwa situasi di Vietnam masih seperti dahulu, ketika mereka meninggalkan Vietnam dalam kecamuk peperangan. Saya tidak tahu, apa arti tanah air bagi mereka, dan bagaimana perang menanam kebencian dalam diri mereka. Betapa banyak mereka yang mati saat meninggalkan tanah airnya. Mereka lebih memilih bunuh diri dari pada kembali ke tanah air. Itulah perang, tak ada yang disisakan dari perang selain rasa dendam. Sebagian dari mereka membakar perahu sebagai perwujudan dari aksi protes mereka agar tak dikirim kembali ke negara asal.

Ah, apa sebenarnya yang terjadi, Nguyen? Seberapa parah perjuangan hidup di pulau ini, setelah perjuangan hidup mengarungi lautan dengan perahu-perahu kecil. Betapa berat beban kejiwaaan orang-orang di sini hingga berniat lari, entah hendak ke pulau mana lagi. Nguyen yang sendiri. Saya juga sedang “lari”, Nguyen. Lari dari kesibukan kota, dari raung mesin, dari gemerlap lampu kota. Akhirnya kita “bertemu” di sini, di Pulau Galang ini—dan saya tak lagi bisa lari. Saya seperti telah dikurung oleh masa silam pulau ini, Nguyen.

No comments:

Post a Comment

Isi Komentar anda di sini