Sebuah papan petunjuk terbuat dari lempengan logam dengan cat dasar hijau bertuliskan EX CAMP VIETNAM, seperti rongga besar yang hendak menyedot saya ke masa lalu. Di sana-sini tertulis “Galang, Memory of a Tragedic Past”, saya tak bisa mengira-ngira bagaimana tragedi masa silam itu di Pulau Galang ini hingga sebegitu pentingnya untuk dituliskan. Galang, misteri apa yang kau kandung.
Saya berjalan melewati tubir, menelisik nama-nama di nisan di lokasi Nga Trang Grave itu. Betapa banyak nama Nguyen di sini. Barangkali ‘nguyen’ sama dengan ‘cut’ di bagi orang Aceh, atau ‘puti’ bagi orang Minangkabau, atau ‘raden’ bagi orang Jawa. 503 makam yang terdiri dari pengungsi Vietnam dan Kamboja yang beragama kristen dan budha. “Besarnya jumlah kematian saat itu diakibatkan karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah.” Begitu tertulis di plakat di perkuburan itu.
Di tahun 1979, Vietnam dilanda perang saudara yang tak terelakkan. Orang-orang dari Vietnam Selatan, yang kebanyakan tidak menganut paham komunis, memilih untuk meninggalkan Vietnam dan berlayar dengan perahu-perahu kecil, dihempas ombak dan gelombang, diterpa badai, juga panas yang membakar kulit. Orang-orang itu, manusia-manusia perahu itu, yang akhirnya terdampar di Pulau Galang. Salah seorang dari manusia perahu itu, Nguyen kecil dengan rambut dikepang. Nguyen, apa yang terjadi? Ia yang akhirnya diperkosa setelah kegagalan cintanya dengan seorang lelaki pribumi Pulau Galang. Cintanya kandas, cintanya tak terbalas. Dalam keputusasaan, ia menggantung diri dengan seutas tali. Membiarkan rohnya terlepas dari raganya.
Sekarang saya berdiri di hadapanmu, berdoa. Nguyen yang dipahat di rimbun rimba raya. Tempat di mana kau menemui ajal, dalam cinta yang sekarat, dalam sakit yang tak terperikan. Beberapa sesajen terletak begitu saja di bawah tugu, sepertinya sudah lama. Saya merasa malu sendiri, karena tidak membawa apa-apa, selain kamera dan beberapa catatan-catatan kecil. Tapi setidaknya saya membawa doa. Nguyen yang di surga.
Dekat dari tugu itu, barak-barak pengungsian terhampar, tak terurus. Sebagian telah lapuk dimakan rayap dan belukar telah menjalari hingga tiang-tiang tertinggi. Barak-barak yang dulunya menampung 230.00 lebih pengungsi Vietnam, yang juga sebagian kecilnya dari Kamboja ini seperti sebuah kampung lama yang keluar dari halaman buku-buku sejarah. Betapa depresi mereka yang bertahun-tahun menghuni tempat itu, hidup dalam ketakpastian. Tidur bergerombol berdesak-desakan. Di antara barak-barak yang ditinggal pengungsi ini, saya bermenung membayangkan bahwa Nguyen adalah satu dari gadis yang tertidur lelap di dalamnya. Di tengah pemandangan pulau-pulau yang indah mempesona, ternyata ada derita manusia yang ditanggungnya.
Ah, apa sebenarnya yang terjadi, Nguyen? Seberapa parah perjuangan hidup di pulau ini, setelah perjuangan hidup mengarungi lautan dengan perahu-perahu kecil. Betapa berat beban kejiwaaan orang-orang di sini hingga berniat lari, entah hendak ke pulau mana lagi. Nguyen yang sendiri. Saya juga sedang “lari”, Nguyen. Lari dari kesibukan kota, dari raung mesin, dari gemerlap lampu kota. Akhirnya kita “bertemu” di sini, di Pulau Galang ini—dan saya tak lagi bisa lari. Saya seperti telah dikurung oleh masa silam pulau ini, Nguyen.
No comments:
Post a Comment
Isi Komentar anda di sini