Meluruskan Praktik Outsourcing
oleh :Sutomo paguci
Salah satu tema berulang yang disuarakan kalangan buruh setiap perayaan Hari Buruh Sedunia atau May Day tanggal 1 Mei adalah penolakan sistem kontrak outsourcing (alihdaya).
Penerapan sistem outsourcing selama ini menempatkan posisi pekerja menjadi tidak terlindungi dan bisa di PHK tanpa pesangon setelah habis kontrak. Buruh hanya dianggap komoditas. Habis manis sepah dibuang.
Padahal, kerangka hukum sebenarnya dari outsourcing, tidak mesti mengabaikan perlindungan hak-hak buruh. Jikapun terjadi pengabaian hak buruh dalam praktik outsourcing, itu merupakan kreasi dunia kerja saja. Karena itu, dengan pemahaman terhadap ruang lingkup dan manfaat bisnis outsourcing, kesalahpahaman demikian diharapkan berangsur dapat diminimalisasi atau diletakkan dalam kerangka yang lebih proporsional. Sebab, bisnis outsourcing bukan saja berfaedah bagi dunia swasta, tetapi juga bagi badan-badan pemerintah.
Dalam hubungan ini, pengaturan regulasi outsourcing yang jelas dan tidak multitafsir dalam perlindungan hak buruh sekaligus bermanfaat dalam dunia bisnis dan pemerintahan merupakan suatu keniscayaan.
Ruang lingkup
Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar atau perusahaan penyedia jasa outsourcing (Chandra Suwondo, 2003: 3). Melalui pendelegasian tersebut, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing (Sehat Damanik, 2006: 2).
Dalam UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan (UUK) sendiri tidak dijumpai definisi outsourcing. Namun ada ketentuan yang mengatur substansi outsourcing, yakni mulai Pasal 64 s/d 66 UUK.
Menurut ketentuan Pasal 64 UUK, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Jadi, objek outsourcing meliputi pemborongan pekerjaan (outsourcing-produk) dan penyediaan jasa pekerja/buruh (outsourcing-jasa).
Syarat pekerjaan yang di-outsourcing-kan sebagaimana ditentukan Pasal 64 UUK tersebut diatur Pasal 65 ayat (2) UUK, yaitu (i) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, (ii) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja, (iii) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan (iv) tidak menghambat proses produksi perusahaan secara langsung.
Jadi menurut UUK, outsourcing tidak boleh pada layanan utama atau objek pekerjaan bersifat tetap. Karena itu, sudah benar apa yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan melarang outsourcing pada layanan inti perbankan seperti teller, constumer service, costumer relation sebagaimana Peraturan Bank Indonesia No.13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-Hatian Bagi Bank Umum.
Penyimpangan
Hanya saja dalam praktik, pengaturan UUK perihal outsourcing di atas sering menimbulkan penafsiran yang kebablasan. Setiap pekerjaan seolah bisa dialihdayakan, bahkan pekerjaan inti sebuah perusahaan sekalipun. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja juga sangat minim karena pekerja diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sehingga habis kontrak habis juga hubungan kerja dengan perusahaan, dan tidak ada kewajiban perusahaan untuk memberikan kompensasi terhadap pekerja yang di-PHK. Hal ini harus diakui sebagai kelemahan elementer dari konsep norma outsourcing yang diatur dalam UUK.
Saking banyaknya penyimpangan praktik outsourcing dari konsep hukum positif dan teori hukum asalnya, sampai-sampai ada pemikiran untuk menghapus ketentuan perihal outsourcing tersebut dalam revisi UUK di masa mendatang.
Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan mekanisme kontrak kerja outsourcing terhadap objek pekerjaan yang bersifat tetap meskipun pekerjaan tersebut sifatnya penunjang, dan pekerjaan inti perusahaan, bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, normanya harus dipandang sebagai revisi hukum outsourcing yang sangat berarti bagi dunia kerja dan dunia usaha.
Adapun amar putusan MK No 27/PUU-IX/2011 tersebut berbunyi sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
- Menyatakan frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
- Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Karena putusan MK ini, maka dua pasal yang ada di UU nomor 13 tahun 2003 itupun berubah dengan dihilangkannya kalimat ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ dan ‘perjanjian kerja untuk waktu tertentu.
Sebetulnya, lembaga hukum outsourcing bukan hal baru. Outsourcing telah dikenal sejak zaman kolonial Belanda dahulu. Buktinya, perihal outsourcing ini telah diatur dalam Pasal 1601b KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW). Hanya saja lembaga hukum versi BW ini berlaku umum untuk pekerjaan jangka pendek, tanpa pembatasan seperti halnya UUK. Dikatakan, “Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”
Dengan demikian ada dua macam hukum yang menjadi landasan outsourcing, yakni (i) hukum administrasi negara sebagaimana diatur dalam UUK dan peraturan perundangan organik sebagai pelaksanaannya (yaitu Kepmenakertans No KEP-101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No KEP-220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain); dan (ii) hukum perdata khususnya hukum perjanjian dalam KUH Perdata/BW.
Kemudian, terdapat tiga pihak atau subjek yang terlibat langsung dalam bisnis jasa outsourcing tersebut, yaitu (i) perusahaan pemberi pekerjaan, (ii) perusahaan penerima pekerjaan, dan (iii) pekerja dari perusahaan-perusahaan tersebut. Hubungan antara perusahaan pemberi kerja dan perusahaan penerima pekerjaan wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.
Pekerja outsourcing sendiri hanya memiliki hubungan kerja dan karenanya digaji oleh perusahaan penerima pekerjaan. Hubungan kerja demikian tetap tunduk pada ketentuan hukum ketenagakerjaan sesuai perundangan yang berlaku. Yang belakangan, pasca lahirnya UUK, hubungan kerja demikian dituangkan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu/PKWTT (untuk karyawan tetap), tapi umumnya dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT (untuk karyawan kontrak), tergantung kesepakatan para pihak.
Dalam kaitan ini, harus dibedakan antara dua jenis perusahaan pengerah jasa tenaga kerja, yaitu Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (PPJP/B). Perbedaan kedua jenis perusahaan tersebut adalah, PJTKI merupakan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerjanya di luar negeri, sedangkan PPJP/B atau perusahaan outsourcing mempekerjakan pekerja/buruhnya hanya di dalam negeri.
Perbedaaan lainnya, pada perusahaan PJTKI, perjanjian kerja langsung ditandatangani oleh pekerja dan majikan, bukan oleh perusahaan yang mengerahkan tenaga kerja. Sebaliknya, pada PPJP/B, penandatanganan kontrak kerja bukan dilakukan oleh buruh dengan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penerima pekerjaan. Adapun persamaan keduanya, baik PJTKI maupun PPJP/B, hubungan kerja (hak dan kewajiban kedua belah pihak) harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
Manfaat outsourcing
Melalui lembaga hukum outsourcing, sebuah perusahaan dapat lebih fokus pada bisnis intinya (core business), sejalan dengan tuntutan globalisasi ekonomi yang menginginkan efisiensi, kecepatan dan kehandalan produk. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti, diserahkan pada pihak ketiga, seperti pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), tenaga pengaman (security), penyediaan angkutan bagi pekerja, dan seterusnya.
Dengan outsourcing, pengusaha tidak perlu dipusingkan dengan urusan administrasi dan perencanaan pekerjaan di luar bisnis inti, pemutusan hubungan kerja (PHK), pesangon, tunjangan hari raya (THR), dan hak-hak pekerja lainnya. Sekarang, konsep lama outsourcing tersebut harus disesuaikan dengan putusan MK No 27/PUU-IX/2011 tersebut di atas.
Terbukti melalui studi para ahli manajemen yang dilakukan sejak tahun 1991, termasuk survei yang dilakukan terhadap lebih dari 1200 perusahaan, Outsourcing Institute mengumpulkan sejumlah alasan mengapa perusahaan-perusahaan melakukan outsourcing terhadap aktivitas-aktivitasnya dan potensi keuntungan apa saja yang diharapkan akan diperoleh (Richardus Eko Indrajit dkk, 2004: 4).
Potensi keuntungan itu adalah, meningkatkan fokus perusahaan, memanfaatkan kemampuan kelas dunia, mempercepat keuntungan yang diperoleh dari reengineering, membagi resiko, sumber daya sendiri dapat dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain, memungkinkan tersedianya dana kapital, menciptakan dana segar, mengurangi dan mengendalikan biaya operasi, memperoleh sumber daya yang tidak dimiliki sendiri, dan memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola.
Dari uraian di atas jelas bahwa lembaga hukum outsourcing sebenarnya dapat pula dimanfaatkan oleh badan-badan pemerintah. Dengan demikian tubuh birokrasi kita tidak perlu setambun sekarang. Setiap badan pemerintah hanya perlu memfokuskan diri pada core pelayanan sesuai pembidangan masing-masing saja, selebihnya di-outsourcing-kan kepada pihak swasta. Dengan langkah ini, bukan saja perampingan dan penghematan anggaran birokrasi dapat ditekan secara besar-besaran, tetapi juga dapat lebih menggeliatkan dunia usaha
No comments:
Post a Comment
Isi Komentar anda di sini