Tak lama lagi tahun ajaran baru tiba,harus diakui bahwa saat ini sekolah, terutama sekolah swasta harus berlomba-lomba dalam mencari peserta didik. Pasalnya masyarakat lebih senang memasukkan putra-putrinya ke sekolah negeri dari pada swasta. Alasannya tak lain karena di sekolah negeri biayanya lebih murah di banding sekolah swasta.Namun saat ini fakta bahwa sekolah negeri lebih murah dibanding sekolah swasta tidak selamanya benar. Karena sekolah negeri yang favorit apalagi telah berstatus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) biayanya malah selangit. Sehingga yang bisa masuk ke sekolah RSBI adalah mereka yang memiliki uang banyak.
Sementara bagi mereka yang memiliki kondisi perekonomian menengah ke bawah harus menerima bahwa mereka hanya bisa masuk ke sekolah negeri dengan kualitas seadanya. Atau di sekolah-sekolah swasta yang memiliki kualitas rendah dengan tetap mengharap mendapatkan beasiswa. Kondisi yang demikian jelas menunjukkan bahwa saat ini, sekolah bukan lagi tempat belajar yang bisa diakses dan dinikmati rakyat miskin.Sekolah yang berkualitas dengan berbagai macam fasilitasnya saat ini hanya bisa dinikmati oleh anak orang kaya. Hal itu mengingatkan kembali di masa penjajahan, dimana yang bisa merasakan pendidikan dan bangku sekolah adalah anak para bangsawan. Sementara anak orang awam hanya bisa membayangkan.Sehingga benar dengan apa yang ditulis oleh Eko Prasetyo dalam salah satu bukunya yang menyebutkan bahwa Orang (anak) Miskin Dilarang Sekolah. Salah satu simbol yang menunjukkan larangan bagi anak miskin dilarang sekolah adalah lahirnya RSBI/SBI. Lahirnya RSBI/SBI bukan saja merupakan bentuk komersialisasi pendidikan, tetapi juga merupakan rancangan sistemik yang dibuat untuk melanggengkan kesenjangan sosial.Saat ini sekolah bukan lagi sebagai tempat untuk belajar anak supaya saling mengenal, dan menghargai perebdaan satu dengan yang lainnya. Sekolah hanya sebagai alat untuk menciptakan perbedaan antara anak yang kaya dan anak miskin. Sekolah juga sebagai tempat untuk menunjukkan kasta dan martabat seseorang.Jika persoalan ini dibiarkan terus-menerus, maka kondisi pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran yang luar biasa. Karena kondisi yang terjadi saat ini serupa dengan kondisi pendidikan sebelum merdeka. Jika dahulu pendidikan kita dijajah oleh Portugis, Belanda dan Jepang, maka saat ini pendidikan kita telah dijajah oleh orang sendiri. Sekolah atau pendidikan merupakan salah satu poin yang menjadi hak asasi setiap manusia didunia. Tetapi apa jadinya bila hak tersebut tidak dapat dirasakan oleh sebagian orang?. Sungguh ironi, ditengah gencarnya program wajib belajar 9 tahun yang dikeluarkan oleh pemerintah, masih banyak orang miskin yang tidak mampu merasakan apa itu nikmatnya menerima pendidikan dari sekolah atau tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya karena masalah biaya?.
Dana BOS sudah digulirkan dan anggaran terus dikucurkan, tetapi apa hasilnya?, hasil yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Bukankah faktor majunya suatu negara dapat terpacu dengan banyaknya orang-orang berilmu?. Gembar-gembor besarnya anggaran yang dikucurkan, tidak sekeras dengan suara rengekan anak-anak miskin yang memohon kepada orang tuanya untuk sekolah. Apa betul pemerintah benar-benar serius untuk memajukan bangsa ini?.
Sekolah gratis?, bohong belaka. Sekolah gratis hanyalah sebuah kamuflase yang digunakan penguasa untuk menaikan pencitraannya saja, padahal kenyataannya omong kosong. Taruhlah biaya SPP gratis, tetapi tetap saja orang miskin masih harus mengeluarkan biaya untuk tetek bengeknya, yang sudah pasti sangat memberatkan.
Fakta sejarah mencatat, Indonesia adalah negara yang dipenuhi para manusia cerdas, seperti; Soekarno, Mohammad Hatta, Adam Malik dan masih banyak yang lain, yang dimana kecerdasan tersebut digunakan semata-mata untuk rakyat. Bukan malah meraup keuntungan untuk kantong sendiri, yang banyak terjadi saat ini. Mungkin yang lebih tepat, para pejabat menggunakan kecerdasannya untuk mengencingi rakyat sendiri.
Tetesan air mata orang-orang miskin yang memohon kemudahan untuk merasakan sekolah, seolah membuat para penguasa itu sendiri semakin gila menghambur-hamburkan uang yang tidak sepantasnya mereka rasakan. Inikah yang diharapkan para pendiri bangsa?. Inikah masa dimana Indonesia gemilang tanpa beban yang ada didalam mimpi Soekarno ketika mengucapkan kalimat-kalimat sakral proklamasi?. Tentu saja tidak!, bukan ini potret Indonesia gemilang.
Sekolah adalah harga mati, tidak boleh ditawar, apalagi dicurangi. Tentu saja kita mengharapkan Indonesia yang maju, gemilang dan dipenuhi manusia-manusia cerdas. Segala kenyataan yang ada seolah membuktikan suatu pernyataan bahwa orang-orang miskin tidak pantas merasakan bangku sekolah. Sebuah anggapan menyedihkan yang terlihat seperti.
No comments:
Post a Comment
Isi Komentar anda di sini